Sabtu, 24 April 2010

MEMBUDAYAKAN LINGKUNGAN BERSIH

BEBERAPA waktu lalu diberitakan kota dengan predikat terbersih dan terkotor di provinsi Riau. Pekanbaru terpilih sebagai Kota Terbersih dan ini tidak mengejutkan karena melalui Progam K3 (Kebersihan,Keindahan, Ketertiban) Kota Bertuah ini sebelumnya nahkan meraih Anugerah Adipura dari pemerintah pusat .

Membaca berita tersebut penulis teringat akan pertemuan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (waktu itu) Emil Salim dengan para ulama di Gedung Daerah. “Saya bingung ketika diangkat menjadi menteri yang menangani tugas di luar keahlian saya”, kata beliau memulai pembicaraan. Seperti diketahui beliau adalah ekonom dan sebelumnya menjabat Menteri Perhubungan. “Karena bingung, suatu hari saya menemui Buya Hamka dan memperoleh banyak informasi tentang lingkungan hidup dari sudut pandang Islam. Buya menyarankan agar bila ke daerah temuilah para ulama dan sarannya itulah yang mendorong saya bertemu dengan bapak-bapak para ulama malam ini” katanya selanjutnya.

Pada pertemuan tersebut beliau mempertanyakan mengapa lingkungan hidup umat Islam tidak bersih sementara ajaran tentang kebersihan termuat dalam ajaran agamanya. Beliau meminta pandangan hadirin atas masalah tersebut. Setelah beberapa orang menyampaikan pandangannya, penulis mengatakan bahwa penyebab masalah tersebut adalah kemiskinan. “Bung benar”, tegasnya, “akan tetapi saya telah mengunjungi negara Islam yang kaya, dan lingkungannya tetap saja brengsek (sic.). Mengapa ini terjadi?”. Beliau menjawab sendiri pertanyaan itu. “Penyebabnya adalah karena mereka tidak memiliki kesadaran lingkungan”, katanya. Jadi kemiskinan atau tak adanya kesadaran lingkungan menjadi kendala bagi lestarinya lingkungan hidup, termasuk lingkungan yang bersih.

Mengenai ajaran tentang kebersihan, para mubalig sering mengutip hadits Nabi yang begitu popular , yaitu, ” Kebersihan itu bagian dari iman”. Akan tetapi kemiskinan bisa menjadi salah satu penyebab mengapa ajaran itu tidak teramalkan secara utuh. Pada hadits yang lain Nabi mengatakan bahwa “ Kemiskinan memperdekat ke kekufuran”. Kufur artinya ingkar dan dalam konteks ini hadits ini mengisyaratkan bahwa seseorang bisa mengingkari, dalam pengertian mengabaikan ajaran agamanya - termasuk ajaran tentang kebersihan - bila kondisinya miskin. Perhatikanlah misalnya, warga kota yang karena kemiskinannya tinggal di kawasan yang disebut slum ( kawasan kumuh). Mereka pada umumnya lebih bergulat memenuhi kebutuhan primer keluarganya ketimbang memikirkan kebersihan lingkungannya. Akibatnya, sampah berserakan dan kakus dibuat seadanya, yang bisa mengundang berbagai penyakit. Namun kemiskinan tidak hanya terdapat pada tataran individu/kelompok, tetapi juga pada tataran negara. Di negara miskin, .kota-kota tidak mempunyai anggaran memadai yang dapat dialokasikan untuk menjaga kebersihan lingkungan. Petugas kebersihan kurang jumlahnya dan truk pengangkut sampah juga terbatas jumlahnya. Kondisi itu membuat kota tidak selalu bersih.

Sebaliknya, sebuah kota yang kaya seperti Sydney – sebagaimana penulis lihat - sebagai contoh, mampu menjaga lingkungan yang bersih Pembangunan jalan raya dirancang sedemikian rupa sehingga tidak ada rumah penduduk yang tidak bisa dilalui truk pengangkut sampah Dalam hal pengelolaan sampah rumah tangga, setiap keluarga membuang sampah ke dalam tempat sampah yang dibuat menurut diameter tertenu. Pada hari-hari tertentu tempat sampah itu diletakkan di atas trotoir di depan rumah untuk kemudian dipungut sampahnya oleh petugas kebersihan - biasanya lewat tengah malam. Petugas memungut sampah itu dengan menggunakan truk yang memiliki ‘tangan mekanik ’ yang bisa mengangkat tempat sampah ke atas truk, mengucurkan isinya dan meletakkannya kembali pada tempatnya. ‘Tangan mekanik’ itu dikendalikan sendirian oleh sang sopir dari tempat duduknya. Jadi proses memungut sampah itu hanya dilakukan satu orang , tidak ‘padat karya’ seperti di negeri kita. Di tempat yang telah ditentukan sampah-sampah itu disortir menurut jenisnya (kertas, kardus, kaleng, plastik, kaca dan sebagainya ) untuk kemudian didaur ulang (recycling). Surat kabar The Sydney Morning Herald, misalnya, dicetak di atas kertas hasil daur ulang itu. Konsep daur ulang itu sudah tentu tidak secara cepat menguras sumbar daya alam Kebutuhan akan kertas, misalnya, tidak selalu dipenuhi dengan cara membabat hutan.

Dari ilustrasi singkat ini tampak bahwa tingkat kebersihan sesuatu kota berkorelasi secara positif dengan tingkat perkembangan ekonominya. Akan tetapi tingkat perkembangan ekonomi yang maju saja tidaklah cukup bila tidak didukung oleh kesadaran warga akan kebersihan lingkungannya. Di negara-negara maju di dunia Barat, menjaga kebersihan lingkungan itu telah membudaya. Budaya bersih itu tumbuh bukan karena motivasi agama, tetapi oleh alasan pragmatisme bersih itu sehat dan bersih itu indah. Penulis tidak pernah melihat sebuah puntung rokok pun di jalan-jalan di kota London, juga tidak melihat sampah dalam bentuk apa pun. Pada jarak-jarak tertentu disediakan tempat membuang sampah dan warga kota berdisiplin membuang sampah apa saja ke dalam tempat sampah itu

Mensosialisasikan budaya bersih terutama di kota-kota hauslah dijadikan program yang anggarannya dialokasikan dalam APBD setiap kota. Sosialisasi itu sebaiknya melalui Tri Pusat Pendidikan, yaitu rumah tangga. sekolah dan masyarakat. Di rumah tangga, kedua orang tua haruslah menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam menjaga kebersihan. Tempat sampah harus disediakan, termasuk di kamar tidur anak-anak. Semua sampah betapa pun kecilnya harus dibuang di tempat sampah tadi, dan aturan ini berlaku bagi seluruh anggota keluarga. Di luar rumah tidak boleh ada sampah yang berserakan. Sampah-sampah harus dikumpulkan untuk diangkut petugas kebersihan. Ini mungkin menjadi kendala bagi sebuah kota mengingat terbatasnya anggaran dan oleh karena itu hendaknya dibangun semacam proyek percontohan di kelurahan/kawasan tertentu

Di sekolah, upaya di rumah tangga diteruskan dengan guru sebagai motivator. Harus diciptakan lingkungan yang bersih dan setiap pelanggaran harus diberi sanksi, betapapun ringannya sanksi itu, misalnya simurid disuruh memungut kembali sampah yang dibuangnya dan memasukkannya ke dalam tempat sampah.

Upaya menginternalisasikan budaya bersih melalui rumah tangga dan sekolah itu akan mantap bila didukung oleh lingkungan masyaratat yang bersih. Bila tidak, simurid akan melihat kesenjangan antara apa yang dibiasakannya di rumah dan di sekolah dengan realitas yang terjadi di masyarakat, dan ini tidak menguntungkan bagi pembentukan budaya lingkungan bersih itu. Di sinilah para ulama/dai’ dapat memainkan peranannya. Sebagai tokoh yang paling sering bertatap muka dengan masyarakat, mereka diharapkan dapat membantu pemerintah dalam membangun budaya tersebut. Akan tetapi imbauan saja kadang-kadang tidak efektif. Maka Peraturan Daerah tentang kebersihan perlu ditegakkan dengan memberi sanksi bagi sipelanggar. Budaya bersih di negara-negara maju itu tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi didukung oleh penegakan hukum (law enforcement). Di London, sipembuang puntung rokok secara sembarangan dikenakan denda uang.

Para pejabat perkotaan mungkin dipandang perlu melakukan studi banding ke daerah lain bahkan ke luar negeri. Meski banyak dikecam, rasanya tidaklah salah bila pemerintah kota melakukannya sepanjang diprogramkan secara matang, dan dilakukan pejabat yang memiliki tanggungjawab terhadap masalah lingkungan, agar masyarakat tidak menilai studi banding itu sebagai acara ‘makan angin’. Bila hasilnya berguna , mengapa tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar